CERPEN




 

 

1. Cha-cha

Oleh: Hengki Kurniawan

Pagi itu cuaca cerah namun udara lembab masi sangat terasa, perlahan cahaya matahari mengangkat embun yang membasahi dedaunan. Pukul 06.45 pagi Laritza atau sering dipanggil Cha-cha sudah sampai disekolah dan duduk di kursi kelas dengan raut wajah yang terlihat lelah.

Satu-persatu siswa mulai berdatangan dan memenuhi ruang kelas menempati tempat duduk masing-masing, perlahan suasana hening mulai terpecahkan.

“Pagi cha!” sapa suci teman sebangku Cha-cha dengan sumringah.

“Selamat pagi juga suci!” jawab cha-cha sambil tersenyum kecil.

“Cha kamu sudah mengerjakan tugas Bahasa Indonesia?” tanya suci sembari memegang buku tulis yang digulung di tangannya.

“Sudah Ci” jawab Cha-cha singkat.

Hari ini anak-anak mendapat tugas Bahasa Indonesia bercerita tentang pengalaman diri sendiri. Setiap anak akan tampil satu-persatu bergiliran untuk menceritakan tentang dirinya. Kevin, Firas, Dwita, dan Suci telah selesai bercerita di depan kelas. Tibalah giliran Cha-cha untuk membacakan tugasnya.

“Selamat pagi teman-teman saya Laritza putri, saat ini saya duduk di kelas 7 SMP dan tinggal di Bengkong. Ayah dan ibu sudah berpisah sejak saya kecil. Ibu adalah seorang single parent yang bekerja sebagai tukang londri dan menjadi tulang punggung keluarga untuk menafkahi hidup kami berdua. Hingga suatu ketika ibu memutuskan untuk menjadi TKI di Singapure. Awalnya berat bagi Ibu untuk mengambil keputusan ini, tapi saya meyakinkan Ibu untuk tidak ragu demi kebaikan masa depan dan perekonomian keluarga.

Ibu pun akhirnya berangkat dan menjadi seorang TKI yang bekerja di singapure, namun sewaktu-waktu jika libur kerja Ibu pasti pulang ke Batam, karena jarak yang tidak terlalu jauh jadi tak heran jika Ibu bolak-balik Batam-singapure hanya untuk melihat saya. Hingga hari ini genap 5 tahun ibu bekerja. Satu tahun lalu saat saya baru lulus dari bangku sekolah dasar, Ibu menikah dengan seorang pria berkewarganegaraan singapure dan mulai mendapat kewarganegaraan baru” Teman-teman sekelas antusias mendengarkan cerita Cha-cha.

“Jadi Cha-cha tinggal sama siapa dong?” Tanya Firas dengan spontan.

“karena tidak ada saudara di sini awalnya saya dititipkan dengan tetangga, tapi karena Ibu merasa sungkan akhirnya saya memutuskan untuk ngekos sendiri” jawab Cha-cha.

“Ha!!! Serius cha? Kamu masih kelas 7 SMP berani tinggal sendiri? Terus makan gimana? Baju gimana?  perlengkapan sekolah  gimana?” tanya Dwita dengan rasa ingin tahu yang tinggi.

“Ibu sempat ragu pada saat itu meninggalkan saya sendiri, tapi saya berusaha meyakinkan ibu untuk tidak khawatir dengan anaknya disini, karena saya pasti akan baik baik saja.” Ungkap Cha-cha sambil sedikit tersenyum kecil menandakan ketegaran di dalam dirinya.

Namun di dalam hati Cha-cha selalu mengatakan bahwa dia harus bisa dan dia harus tegar demi kebahagiaan Ibu juga disana, tidak apa apa kalau Cha-cha yang tinggal sendiri disini. Jika dulu Cha-cha dititipkan kepada tetangga tetapi sekarang Cha-cha sudah kelas 7 SMP, sudah bisa cuci baju sendiri, masak sendiri dan mengurus perlengkapan sekolah sendiri. Cha-cha harus tetap semangat sekolah sampai lulus agar bisa bekerja dan menyusul ibu ke singapure.

Ibu Cha-cha sering berkomunikasi dengan saya sebagai wali kelas pada saat itu, hanya sekedar bertanya tentang perkembangan anaknya di sekolah atau menanyakan kabar Cha-cha. Saya tahu dari nada bicaranya betapa khawatirnya beliau di setiap waktu.

“Bapak mohon titip Cha-cha ya, dia tidak ada siapa-siapa di sana, saya juga sangat khawatir, tapi mau bagaimana lagi Cha-cha tidak bisa dibawa ke sini, selain itu sulit untuk mengurus pindah kewarganegaraan. Cha-cha selalu bilang tidak apa-apa biar Cha-cha yang berkorban di sini Ma! demi kebaikan kita semua.” Ungkap Ibu Cha-cha.

Tanpa terasa jarum jam sudah menunjukkan pukul 09:15 pagi waktunya istirahat dan Cha-cha pun menyudahi cerita yang ia bagikan dengan kita semua.

“Demikian sedikit cerita tentang saya, maaf apabila ada kesalahan dalam perkataan, terimkasih atas perhatian teman-teman” Cha-cha menutup ceritanya dan langsung disambut dengan tepuk tangan yang bergemuruh.

Suara tepuk tangan dari setiap siswa di kelas terdengar riuh, tepuk tangan Kevin ketua kelas yang paling keras karena kagum dengan cerita yang barusan ia dengar.

Saya pun menutup pelajaran hari itu “Nah! anak-anak kita lanjutkan pertemuan berikutnya ya, kesimpulan dari kegiatan hari ini adalah bahwa cerita dari teman-teman kalian semuanya bagus. Setiap dari kalian memiliki jalan hidup masing-masing, apapun takdir yang sedang anak-anak Bapak hadapi selalu ingat, bahwa hidup itu merupakan sebuah perjuangan. Teruslah berjuang meraih cita, teruslah menjadi anak baik, dan teruslah belajar!”

Masih banyak yang beranggapan bahwa perempuan itu lemah, perempuan itu cengeng dan lain sebagainya. Anggapan itu hanyalah argumentasi semata dari segelintir orang yang masih sempit pemikirannya. Lemah dan kuat bukan masalah fisik, sampai saya bertemu dengan seorang siswa bernama laritza putri semakin meyakinkan saya bahwa perempuan itu sosok yang kuat. Kisahnya mengajari saya tentang pengorbanan, kemandirian dan ukuran kedewasaan itu bukan dari umur.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Artikel Seputar Bahasa (Kohesi & Koherensi)

ULANGAN HARIAN

Dongeng